
JAKARTA - Nilai Tukar Petani (NTP) menjadi salah satu indikator penting untuk mengukur kesejahteraan petani. Namun, pada Februari 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan penurunan NTP Indonesia, yang terdaftar di angka 123,45. Angka ini mencerminkan penurunan sebesar 0,18 persen dibandingkan dengan Januari 2025. Poin-poin berikut ini memberikan gambaran lengkap dan mendetail mengenai fenomena ini.
Penurunan NTP disebabkan oleh turunnya indeks harga yang diterima petani (It) sebesar 0,59 persen, penurunan ini lebih signifikan dibandingkan dengan penurunan indeks harga yang dibayarkan petani (Ib) yang hanya sebesar 0,32 persen. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam konferensi pers yang dilakukan pada Senin, 3 Maret 2025, menyatakan bahwa komoditas seperti cabai rawit, bawang merah, cabai merah, dan kakao menjadi faktor utama penyebab penurunan indeks harga yang diterima oleh para petani. "Komoditas yang dominan mempengaruhi penurunan indeks harga yang diterima petani nasional adalah cabai rawit, bawang merah, cabai merah, dan kakao," ujar Amalia.
Analisis Subsektor dan Regional
Meskipun secara keseluruhan NTP turun, terdapat beberapa subsektor yang justru mengalami peningkatan. Subsektor tanaman pangan, tanaman perkebunan rakyat, dan perikanan mencatat peningkatan NTP yang bisa menjadi indikasi performa yang lebih baik pada sektor-sektor tersebut. Di sisi lain, subsektor peternakan dan hortikultura mengalami penurunan.
Salah satu subsektor yang mengalami penurunan NTP terdalam adalah hortikultura, yang mencatat penurunan 6,84 persen. Amalia menjelaskan bahwa penurunan ini disebabkan oleh indeks harga yang diterima petani hortikultura turun hingga 7,08 persen, jauh lebih besar ketimbang penurunan indeks harga yang dibayarkan sebesar 0,25 persen. Beberapa komoditas seperti cabai rawit, bawang merah, cabai merah, tomat, dan kol kubis berperan besar dalam penurunan ini. "Komoditas yang dominan mempengaruhi penurunan indeks harga yang diterima adalah cabai rawit, bawang merah, cabai merah, tomat, dan kol kubis," jelas Amalia.
Jika dilihat dari sisi geografis, data BPS menunjukkan bahwa 22 provinsi mencatat kenaikan NTP pada bulan Februari ini. Sulawesi Utara menjadi provinsi dengan kenaikan tertinggi sebesar 4,14 persen. Sementara itu, 16 provinsi lainnya harus menghadapi penurunan NTP. Penurunan terdalam terjadi di Sumatera Barat dengan 2,79 persen.
Implikasi dan Tindakan yang Dapat Dilakukan
Penurunan NTP ini memiliki berbagai implikasi bagi para petani dan ekonomi lokal secara keseluruhan. Turunnya NTP menandakan bahwa daya beli petani dari hasil penjualan komoditasnya menurun sehingga dapat mengurangi margin keuntungan dan menekan kesejahteraan petani. Hal ini dikhawatirkan dapat menurunkan motivasi dan kapasitas produksi pada musim mendatang.
Tindakan preventif dapat dilakukan oleh berbagai pihak terkait, termasuk pemerintah, swasta, dan masyarakat. Pembenahan pada rantai distribusi komoditas pertanian dan peningkatan value-added dari produk pertanian dapat menjadi langkah yang efektif untuk mengatasi situasi ini. Selain itu, pemerintah bisa memperkuat peran penyuluh pertanian untuk memberikan pelatihan secara berkelanjutan kepada petani, serta memfasilitasi akses mudah ke pasar yang lebih luas sehingga petani mendapatkan harga yang lebih layak.
Pendekatan teknologi, misalnya dengan memanfaatkan platform digital dalam pemasaran hasil pertanian, juga dapat diterapkan untuk mengurangi ketergantungan pada jalur distribusi konvensional yang terkadang tidak efisien.

David
teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Sinergi BRIN dan UBSI Dorong Riset Inovasi Indonesia
- 11 September 2025
2.
Yamaha Uji Pasar Kendaraan Listrik Swap Battery
- 11 September 2025
3.
Jepang Masih Jadi Destinasi Wisata Favorit Global
- 11 September 2025
4.
Jadwal Pelni KM Nggapulu September Oktober 2025
- 11 September 2025
5.
HUT KAI 2025 Hadirkan Promo Diskon Tiket Spesial
- 11 September 2025