JAKARTA - Aksi demonstrasi kembali digelar oleh Aliansi Pemuda Poco Leok di Manggarai, menolak keras proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu. Demonstrasi ini merupakan reaksi terhadap keputusan Bupati Manggarai Herybertus G.L. Nabit yang menetapkan lokasi pengembangan PLTP di Poco Leok, Kecamatan Satarmese. Para demonstran menilai penetapan ini dilaksanakan tanpa pelibatan masyarakat setempat dan diam-diam sejak tahun 2022.
Koordinator Aliansi Pemuda Poco Leok, Kristianus Jaret menegaskan, "Sejak saat itu juga kami menyatakan dengan tegas secara terbuka bahwa kami masyarakat adat Poco Leok menolak pembangunan yang merusak ruang hidup dan ruang produksi kami." Pernyataan tegas Jaret ini mencerminkan kekhawatiran mendalam komunitas adat terhadap dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan proyek tersebut. Mereka khawatir proyek PLTP Ulumbu dapat mengganggu ruang hidup warga, khususnya lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupan utama.
Kristianus menambahkan bahwa proyek ini didanai oleh PT PLN dengan dukungan finansial dari Bank Pembangunan Jerman (KfW). Dia menyebut langkah diam-diam yang diambil Bupati sebagai bentuk ketidakjujuran dan minimnya transparansi. "Proses yang dilakukan oleh PT PLN bersama Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Manggarai dilakukan dengan proses yang tidak jujur yang ditandai oleh penetapan lokasi secara diam-diam tanpa melibatkan partisipasi publik terutama masyarakat adat yang ada di 14 Gendang Poco Leok," papar Kristianus.
Resistensi terhadap proyek ini bukan hal baru. Sejak Februari 2023, masyarakat adat Poco Leok telah berupaya menyuarakan penolakan melalui berbagai aksi terbuka, di antaranya dengan mendatangi kantor pusat PT PLN dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta. Namun hingga kini, suara mereka tampak tenggelam, tidak digubris oleh pihak pemerintah maupun perusahaan.
Protes yang dilalukan masyarakat tidak hanya bersifat damai. Menurut Kristianus, sejauh ini mereka telah mengorganisir 28 aksi, termasuk pada 2 Oktober 2024, ketika kaum perempuan Poco Leok menjadi korban kekerasan oleh aparat gabungan. "Pada tanggal 2 Oktober 2024, masyarakat kaum perempuan menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh aparat gabungan yang terdiri dari Polisi Pamong Praja (Pol PP), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mengawal Pihak PLN dan Pemerintah Daerah Manggarai ke lokasi yang telah ditetapkan secara sepihak oleh Bupati Manggarai sebagai titik lokasi yang akan dilakukan proses pembangunan tambang panas bumi," ungkapnya.
Aksi protes yang digelar oleh aliansi pemuda ini memanas ketika suara mereka dianggap tidak diindahkan. Mereka pun menuntut pencabutan Surat Keputusan Bupati Manggarai yang terkait dengan penetapan lokasi proyek tersebut. "Kami kaum muda Poco Leok menyatakan kembali mendesak agar cabut SK Bupati Manggarai terkait penetapan lokasi wilayah kerja Panas bumi di Wilayah Poco Leok," tegas Jaret.
Di sisi lain, meski mendapatkan protes hebat, Bupati Herybertus G.L. Nabit tetap kukuh pada pendiriannya mendukung proyek panas bumi tersebut. Dalam pertemuan audensi yang dilakukan para demonstran di kantor bupati, Bupati Hery lebih memilih untuk melanjutkan penetapan lokasi wilayah kerja panas bumi di wilayah Poco Leok. Keputusan ini mengundang kekecewaan di kalangan demonstran yang berharap adanya peninjauan ulang keputusan tersebut.
Kepada wartawan, Bupati Hery mengatakan bahwa proyek PLTP Ulumbu merupakan bagian dari upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan keandalan energi dalam wilayah. Bupati percaya bahwa pemanfaatan energi panas bumi dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan daerah, khususnya dalam menyediakan sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan.
Meski demikian, Bupati juga menegaskan komitmen untuk memastikan proyek ini berjalan sesuai regulasi dan memperhatikan keberlanjutan lingkungan serta kearifan lokal. "Kami memahami kekhawatiran masyarakat dan akan memastikan keseluruhan proses mematuhi regulasi serta mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan kearifan lokal," ujarnya.
Ketegangan antara pemerintah daerah dan masyarakat Poco Leok terkait proyek ini tampaknya belum akan mereda dalam waktu dekat, mengingat perbedaan pandangan yang signifikan antara kedua belah pihak. Masyarakat adat Poco Leok berharap adanya dialog yang lebih terbuka dan inklusif agar aspirasi mereka didengar dan dihormati.
Aksi penolakan proyek ini menjadi gambaran dari dinamika konflik komunitas lokal dengan pemerintah yang acapkali muncul ketika proyek pembangunan besar dicanangkan tanpa melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Dalam era informasi dan kebijakan publik yang lebih demokratis, pelibatan masyarakat menjadi suatu keharusan guna mencapai pembangunan yang benar-benar berkelanjutan dan adil. Aliansi Pemuda Poco Leok menegaskan komitmen mereka untuk terus memperjuangkan hak dan keberlanjutan lingkungan hidup mereka, berharap adanya langkah nyata dari pihak pemerintah untuk mendengarkan serta merangkul partisipasi masyarakat dalam setiap tahap pembangunan.