JAKARTA - Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, mematok target ambisius untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada tahun 2028. Namun, seiring dengan target tersebut, muncul tantangan besar terkait pasokan energi. Eddy Soeparno, Wakil Ketua MPR RI, menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus didukung oleh komitmen kuat terhadap transisi energi guna mencapai tujuan Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Dalam acara 'Energy Talks' yang diselenggarakan oleh ILUNI FHUI pada Rabu, Eddy Soeparno, yang juga merupakan anggota Partai Amanat Nasional (PAN), menekankan pentingnya peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan. "Harus diingat, pertumbuhan ekonomi dengan tambahan pasokan energi yang akan diproyeksikan meningkat harus sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mengupayakan dan mewujudkan Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih awal," jelas Eddy.
Saat ini, tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana mengintegrasikan sektor kelistrikan berbasis energi bersih dalam sistem energi nasional. Eddy memproyeksikan bahwa pada tahun 2035, Indonesia akan mencapai keseimbangan antara pasokan energi fosil dengan energi terbarukan. Lebih lanjut, pada tahun 2040, bauran energi terbarukan diharapkan mencapai hampir 60 persen dari total bauran energi nasional.
"Langkah ini menegaskan komitmen Indonesia dalam mempercepat transisi energi guna mencapai ketahanan energi yang berkelanjutan," ujar Eddy. Percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga air dan geothermal, serta inovasi dalam energi terbarukan seperti tenaga surya, laut, dan angin, diproyeksikan akan memainkan peran vital dalam memenuhi kebutuhan energi nasional.
Selain transisi ke energi terbarukan, Eddy Soeparno juga menyoroti pengembangan teknologi penangkapan karbon atau carbon capture storage (CCS) sebagai langkah krusial dalam mengurangi emisi karbon industri kelistrikan. "Selain itu, pemanfaatan teknologi CCS serta energi baru seperti hidrogen dan amonia diharapkan dapat berkontribusi signifikan dalam mengurangi emisi karbon industri kelistrikan," tambahnya.
Dalam jangka menengah, percepatan elektrifikasi massal menjadi prioritas untuk memastikan transisi energi berjalan optimal. Eddy menggarisbawahi pentingnya peralihan ke kendaraan listrik, terutama di sektor transportasi publik dan pribadi, serta penggantian LPG dengan kompor induksi. "Transformasi menuju kendaraan listrik khususnya transportasi publik dan kendaraan pribadi, penggantian LPG dengan kompor induksi, serta pengembangan infrastruktur gas domestik yang lebih luas, akan turut mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dalam waktu tiga sampai lima tahun mendatang,” ucap Eddy.
Selain itu, Eddy menekankan bahwa peningkatan kualitas bahan bakar juga menjadi perhatian utama. Dukungan untuk penggunaan biodiesel B40, biofuel untuk kendaraan darat, serta produksi Sustainable Aviation Fuel (SAF) untuk sektor penerbangan turut ditekankan oleh Wakil Ketua Umum DPP PAN ini.
Namun, transisi energi tidak bisa dilakukan sendirian. Eddy menekankan pentingnya kolaborasi dengan lembaga perbankan dan keuangan untuk membiayai berbagai proyek pengembangan energi baru terbarukan (EBT). "Dengan strategi yang lebih terarah dan dukungan kebijakan yang kuat, Indonesia kini berada di jalur yang lebih jelas dalam membangun sistem energi yang lebih bersih, efisien, dan berkelanjutan," katanya.
Bagaimanapun, potensi Indonesia dalam mengembangkan low carbon economy dan sumber energi baru yang ramah lingkungan seperti hidrogen, amonia, serta pemanfaatan CCS menunjukkan peluang besar bagi negara ini untuk memimpin transisi energi di kawasan.
Akhirnya, bagi Indonesia, mencapai tujuan NZE bukan hanya tentang menjaga lingkungan, tetapi juga tentang menjaga daya saing ekonomi di tengah pertumbuhan global yang semakin menekankan keberlanjutan. Dengan kebijakan yang tepat dan implementasi yang efektif, Indonesia berpotensi menjadi model bagi negara-negara lain dalam transisi menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.