JAKARTA - Dalam konteks global yang semakin menitikberatkan pada transisi energi demi mengurangi dampak perubahan iklim, kawasan Asia Tenggara, atau ASEAN, tampaknya menghadapi tantangan besar. Hal ini disampaikan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam sebuah seminar virtual pada Jumat, 21 Februari 2025. Beliau menekankan bahwa kontribusi energi terbarukan di ASEAN saat ini hanya mencapai 15,6 persen—angka yang jauh tertinggal dari target ambisius 23 persen pada tahun 2025.
Potensi Energi Terbarukan ASEAN yang Belum Dioptimalkan
Tidak bisa dipungkiri, kawasan ASEAN memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan energi terbarukan. Dengan potensi melebihi 17 terawatt, seharusnya ASEAN bisa menjadi pemain utama dalam sektor energi bersih. Namun, menurut Fabby Tumiwa, kawasan ini hanya mampu menarik sekitar dua persen dari total investasi energi terbarukan global.
Pada seminar tersebut, Fabby menyatakan, "Tanpa intervensi besar, bahan bakar fosil diperkirakan akan memasok hingga 75 persen kebutuhan energi ASEAN di masa depan. Dampaknya bukan hanya pada peningkatan emisi karbon, tetapi juga semakin rentannya ekonomi kawasan."
Pernyataan ini mengundang perhatian banyak pihak, mengingat potensi risiko ekonomi dan lingkungan yang muncul apabila ketergantungan pada energi fosil tidak dikurangi. Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara ASEAN memang telah mulai membangun infrastruktur untuk energi terbarukan, namun masih jauh tertinggal dari negara lain yang lebih proaktif dalam investasi energi bersih.
Dampak Lingkungan dan Ekonomi dari Energi Fosil
Menimbang kembali ketergantungan pada bahan bakar fosil, ada beberapa dampak signifikan yang perlu diperhatikan. Selain menyebabkan emisi karbon yang tinggi, penggunaan energi fosil juga dapat membuat perekonomian kawasan menjadi tidak stabil. Perubahan iklim yang semakin nyata menjadi ancaman bagi sektor pertanian, pariwisata, hingga kesehatan masyarakat.
"Dampak buruk dari perubahan iklim sudah bisa kita rasakan saat ini. Banjir, kekeringan, dan cuaca ekstrem lainnya menempatkan ekonomi kita dalam risiko besar," imbuh Fabby. Ini menandakan bahwa transisi ke energi bersih bukan hanya soal inovasi, tetapi juga penting bagi ketahanan ekonomi dan sosial ASEAN.
Mengatasi Hambatan Investasi Energi Terbarukan
Salah satu tantangan utama dalam mengembangkan energi terbarukan di ASEAN adalah rendahnya investasi. Banyak faktor yang memengaruhi, seperti kebijakan kurang mendukung, ketidakpastian regulasi, dan infrastruktur yang belum memadai. Fabby menyebutkan bahwa diperlukan kebijakan yang lebih jelas dan insentif menarik untuk memikat para investor.
"Dengan kebijakan yang suportif, kita bisa mengundang lebih banyak investasi, memperkuat infrastruktur, dan akhirnya meningkatkan porsi energi terbarukan kita," ujar Fabby.
Kebijakan yang diambil pemerintah di negara-negara ASEAN akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran transisi ini. Beberapa negara seperti Singapura dan Vietnam sudah mulai memperlihatkan peningkatan investasi dalam proyek energi terbarukan, tetapi negara lain masih perlu memperbaiki regulasi dan memberi kemudahan untuk investasi.
Kerja Sama Regional yang Lebih Erat
Salah satu cara untuk mengatasi tantangan ini adalah dengan memperkuat kerja sama regional. ASEAN perlu berkomitmen dalam mencapai target energi terbarukan yang telah disepakati, tidak hanya melalui kebijakan nasional masing-masing, tetapi juga inisiatif bersama. Berbagi pengetahuan dan teknologi serta mengharmonisasi regulasi antar negara dapat mempercepat transisi energi ini.
"Kerja sama antarnegara ASEAN sangatlah penting. Kita sudah melihat contoh-contoh sukses dari negara lain ketika mereka bekerja sama dalam pengembangan energi terbarukan," kata Fabby.
Kerja sama ini bukan hanya mendapat keuntungan dari segi ekonomi, tetapi juga memperkuat posisi ASEAN dalam negosiasi global terkait perubahan iklim dan energi bersih.
Transisi energi di ASEAN memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Dengan kapasitas dan potensi yang ada, serta dukungan kebijakan yang tepat, ASEAN dapat berperan lebih besar dalam peta energi terbarukan dunia. Upaya ini akan memberikan manfaat jangka panjang, baik dari sisi ekonomi, lingkungan, maupun sosial.
Mengakhiri seminar, Fabby mengajak semua pihak untuk lebih proaktif dalam mewujudkan target energi terbarukan. "Ini saatnya kita bertindak dengan lebih cepat dan tegas. Ini bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan untuk masa depan yang berkelanjutan," tutupnya.
Dengan demikian, tantangan transisi energi di ASEAN memerlukan solusi nyata dan komitmen bersama dari semua pihak, mulai dari pemerintah, sektor swasta, hingga masyarakat umum, demi menciptakan masa depan yang lebih aman dan bersih bagi kita semua.