PP PMKRI Desak Investigasi Kementerian ESDM Terkait Dugaan Penjualan 300.000 Ton Nikel Milik Negara

Jumat, 21 Februari 2025 | 21:10:34 WIB
PP PMKRI Desak Investigasi Kementerian ESDM Terkait Dugaan Penjualan 300.000 Ton Nikel Milik Negara

JAKARTA - Pada minggu ini, polemik terkait dugaan penjualan 300.000 ton bijih nikel yang sebelumnya disita untuk negara kembali menjadi sorotan publik. Tidak tinggal diam, Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) secara tegas mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengambil tindakan tegas dan menyelesaikan kasus ini dengan segera.

Menurut informasi yang diterima, dugaan pelanggaran ini melibatkan PT Wana Kencana Mineral (WKM) sebagai perusahaan tambang yang dituduh menjual bijih nikel tersebut. Kasus ini berakar dari sengketa antara PT WKM dan PT Kemakmuran Pertiwi Tambang (KPT). Bijih nikel yang menjadi objek sengketa awalnya milik PT KPT, namun izin usaha pertambangan (IUP) mereka dicabut oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan dialihkan ke PT WKM. Kedua perusahaan kemudian terlibat konflik hukum yang akhirnya diputuskan melalui Mahkamah Agung, yang memenangkan PT WKM sebagai pemegang IUP sah.

Namun, menurut Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI, Raymundus Yoseph Megu, status hukum dari bijih nikel yang sudah disita oleh negara tersebut masih belum jelas. “Status hukum bijih nikel yang telah disita negara masih menjadi tanda tanya besar dan perlu diklarifikasi oleh pihak berwenang,” ujar Raymundus pada Sabtu (15/2).

Raymundus menyiratkan bahwa ada potensi kerugian negara yang cukup besar akibat penjualan ini. Berdasarkan Laporan Hasil Verifikasi (LHV), kerugian yang diderita pemerintah daerah bisa mencapai angka Rp30 miliar. Ini menjadi perhatian utama para pihak terkait, terutama karena dampak ekonomi yang cukup signifikan bagi daerah tersebut.

Tidak hanya itu, PT WKM juga dilaporkan belum memenuhi kewajibannya dalam menyetor dana jaminan reklamasi yang merupakan salah satu persyaratan penting dalam aktivitas pertambangan. Dari total kewajiban yang mencapai Rp13,45 miliar untuk periode 2018-2022, PT WKM baru menyetor Rp124 juta pada tahun 2018. "Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait komitmen PT WKM dalam menjaga lingkungan pasca-penambangan," tambah Raymundus.

Kasus ini, menurut Raymundus, melibatkan sejumlah regulasi yang sudah ditetapkan untuk menertibkan sektor pertambangan di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 158 menegaskan bahwa pihak yang melakukan penambangan tanpa izin bisa menghadapi hukuman pidana hingga lima tahun dan denda Rp100 miliar. Selain itu, Pasal 161 menjelaskan pidana serupa bagi pihak yang menampung atau menjual mineral ilegal.

Lebih jauh, regulasi lain yang disebutkan adalah PP No. 96 Tahun 2021 Pasal 107, yang menyatakan bahwa IUP yang dicabut tidak boleh digunakan untuk kegiatan penjualan sampai ada keputusan baru dari pemerintah terkait. Pasal 187 dalam PP yang sama juga menyebutkan sanksi administratif yang bisa dikenakan bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban reklamasi dan pasca-tambang. Sementara itu, Peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2018, dalam Pasal 63, mewajibkan setiap perusahaan tambang untuk menyediakan dan menyetor dana jaminan reklamasi sesuai ketentuan yang ada.

Menanggapi perkembangan ini, PP PMKRI meminta agar Kementerian ESDM segera turun tangan dan melakukan investigasi menyeluruh untuk memastikan tidak ada pelanggaran hukum dalam proses penjualan bijih nikel tersebut. Hal ini, menurut mereka, penting untuk menjaga kredibilitas dan transparansi di sektor pertambangan, yang sudah lama diduga sebagai kawasan yang sering terjadi pelanggaran.

Selain itu, masyarakat dan berbagai organisasi pemerintah diminta ikut mengawasi proses investigasi ini agar semua pihak yang terlibat dalam dugaan pelanggaran ini bisa mendapatkan sanksi yang setimpal. Dengan demikian, diharapkan akan ada efek jera bagi perusahaan lain yang coba mengabaikan aturan yang berlaku.

Tidak cukup hanya dengan sanksi hukum, Raymundus menegaskan betapa pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan pertambangan dalam pelaksanaan operasional dan pengelolaan lingkungan pasca-tambang. Ini merupakan salah satu kewaspadaan yang harus terus dijaga untuk memastikan kelestarian lingkungan hidup bagi generasi mendatang.

Kasus yang melibatkan PT WKM dan sektor pertambangan ini memang menyulut perhatian publik. Pasalnya, dari berbagai kasus pelanggaran pertambangan di Indonesia, sering kali kita mendengar tentang penundaan penegakan hukum dan minimnya transparansi dalam pengungkapan fakta di lapangan. Tentu, hal ini menandakan bahwa sektor pertambangan di Indonesia perlu melakukan refleksi besar-besaran agar ke depannya dapat beroperasi secara lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Dalam situasi yang cukup pelik ini, semua mata kini tertuju pada langkah apa yang akan diambil oleh Kementerian ESDM dan aparat penegak hukum terkait. Harapannya, tidak hanya dapat mengungkap tuntas perkara ini, keberhasilan investigasi juga dianggap dapat memberikan pelajaran berharga untuk mencegah pelanggaran yang sama di masa depan.

Permasalahan terkait PT WKM ini menjadi salah satu potret penting bagaimana regulasi dan penegakan hukum di sektor pertambangan harus terus diperkuat agar dapat menahan laju pelanggaran yang kerap kali menerpa industri vital ini. Dengan langkah tegas dari setiap instansi terkait, diharap dapat dibentuk sektor pertambangan yang lebih transparan, akuntabel, dan berkelanjutan di Indonesia.

Terkini

ESDM Dorong Green Hydrogen Wujudkan Energi Bersih

Rabu, 10 September 2025 | 17:24:29 WIB

Erick Thohir Apresiasi Perjuangan Timnas U23 Garuda

Rabu, 10 September 2025 | 17:24:26 WIB

8 Mobil Listrik Modern Hadir dengan Aplikasi Canggih

Rabu, 10 September 2025 | 17:24:20 WIB

Makanan Tradisional Jepang Mendukung Umur Panjang Sehat

Rabu, 10 September 2025 | 17:24:15 WIB