JAKARRTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 mengenai Pertambangan Mineral dan Batu Bara menjadi undang-undang. Pengesahan RUU Minerba ini menimbulkan berbagai reaksi, terutama dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), yang mengkritik langkah tersebut sebagai langkah mundur dalam tata kelola pertambangan nasional.
Dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir, seluruh anggota yang hadir menyatakan persetujuan terhadap pengesahan tersebut. "Setuju," seru seluruh fraksi, yang kemudian diikuti oleh ketukan palu tanda penutup perdebatan panjang mengenai RUU ini.
Pemberian IUP Ditengarai Sebagai Bagi-bagi Konsesi
Juru Kampanye Jatam, Alfarhat Kasman, mengungkapkan keprihatinannya terkait dengan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) yang dianggapnya dilakukan secara prioritas. Menurutnya, langkah ini merupakan bentuk bagi-bagi konsesi tambang yang berpotensi memicu peningkatan kerusakan lingkungan. "Laju perluasan daya rusak itu tidak akan mungkin bisa ditekan lagi dengan adanya pemberian konsesi tambang," kata Alfarhat kepada Kompas.com.
Lebih lanjut, tambah Alfarhat, naskah revisi UU Minerba yang sekarang disahkan tidak lagi menekankan pentingnya dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Hal ini, bila digabungkan dengan dampak UU Cipta Kerja, dapat memperpanjang kerusakan akibat aktivitas pertambangan di tanah air.
Potensi Penambahan Aktor Perusakan dan Pemburu Rente
Selain itu, Alfarhat menyoroti potensi bertambahnya aktor-aktor perusakan serta pemburu rente akibat diperluasnya entitas penerima tambang. "Semakin banyaknya aktor-aktor yang terlibat akan membahayakan masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di dekat atau di rasa tergeser oleh operasi pertambangan," tuturnya.
Menurut Alfarhat, beberapa pasal dalam RUU tersebut jelas menunjukkan pemberian izin tambang secara prioritas kepada entitas tertentu, termasuk pihak swasta. "Ini akan cenderung bergerak pada perusahaan-perusahaan yang dekat dengan pusat kekuasaan," papar Alfarhat lebih lanjut, menekankan bahwa pihak Jatam tetap menolak UU Minerba tersebut.
Minimnya Partisipasi Publik dalam Pembahasan RUU
Salah satu kritik tajam lainnya dari Jatam menyangkut minimnya partisipasi publik dalam proses pembahasan RUU Minerba yang dianggap terlalu cepat. Alfarhat mempertanyakan urgensi di balik pembahasan kilat tersebut yang seolah-olah mengabaikan pendapat publik dan kelompok-kelompok masyarakat sipil lainnya yang terdampak.
Pasal-Pasal Krusial dalam RUU Minerba yang Disahkan
Panja RUU Minerba menyepakati beberapa revisi pasal yang dianggap krusial. Di antara pasal-pasal tersebut adalah Pasal 17A, Pasal 22A, Pasal 31A, dan Pasal 169A, yang sebelumnya mendapat sorotan dari Mahkamah Konstitusi (MK). Ketua Panja RUU Minerba, Martin Manurung, menjelaskan bahwa revisi ini diupayakan untuk menyelaraskan perubahan dengan putusan MK sebelumnya.
Skema Prioritas dan Pelibatan BUMD dalam Pengelolaan Pertambangan
Salah satu perubahan paling signifikan adalah pemberian IUP melalui mekanisme skema prioritas, yang walaupun tetap melalui lelang, kini juga melibatkan prioritas untuk badan usaha tertentu. "Pemberian mekanisme lelangnya tetap, tetapi sekaligus ada pemberian dengan cara prioritas," kata Andi Agtas, Menteri Hukum.
Andi menegaskan bahwa badan usaha milik daerah (BUMD) kini memiliki peluang untuk mendapatkan IUP, dan hal ini akan dikoordinasikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menunjang pengembangan ekonomi daerah.
Pembatalan Konsesi untuk Kampus dan Pemberian Konsesi untuk Ormas Keagamaan
DPR dan pemerintah sepakat membatalkan pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi. Sebaliknya, RUU ini mengizinkan pemberian konsesi tambang kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Andi Agtas menyatakan bahwa keputusan ini merupakan hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif.
Penguatan Ekonomi Daerah Melalui Pelibatan UKM
RUU Minerba juga diatur untuk memberikan ruang bagi keterlibatan usaha kecil dan menengah bidang pertambangan di daerah, bukan dari luar wilayah. Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menekankan pentingnya UKM lokal dalam pengelolaan tambang sebagai langkah untuk meningkatkan kelas pelaku usaha lokal menjadi perusahaan besar. "Kami akan desain (peluang) ini untuk UKM daerah, dengan tujuan mengurangi rasio ketimpangan," harapnya.
Dengan disahkannya UU Minerba ini, harapan akan terwujudnya reformasi yang berimbang di sektor pertambangan kembali menjadi perdebatan publik. Sementara pemerintah dan DPR mengklaim langkah tersebut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan, kelompok seperti Jatam mengingatkan bahwa aspek lingkungan dan hak masyarakat terdampak harus selalu menjadi prioritas utama.